Pertanyaan:
Bolehkah makan di restoran milik orang kafir atau bolehkan makan makanan buatan orang kafir? Namun yang dimakan bukan makanan yang jelas haram seperti daging babi, daging anjing dan semisalnya? Yang dimakan semisal roti-rotian, puding, atau daging ayam, daging sapi, daging kambing. Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.
Tentang hukum makan makanan buatan orang kafir, perlu dirinci menjadi beberapa rincian:
Pertama, dibolehkan memakan makanan non-daging buatan nonmuslim, baik Ahlul Kitab atau selain mereka. Seperti roti, kue, puding, permen, keripik, dan semisalnya yang tidak mengandung daging. Tentunya selama makanan tersebut halal bahannya, tidak ada zat haram di dalamnya. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. al-An’am: 121)
Yang dilarang dalam ayat ini adalah daging sembelihan. Adapun sayuran, buah-buahan, makanan laut, kue, dan lainnya dari orang kafir maka tidak ada masalah selama tidak ada zat haram di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan makanan buatan orang Yahudi. Dalam hadits Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata:
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم اشتَرى طعامًا من يَهودِيٍّ إلى أجلٍ ، ورهَنه دِرعًا من حديدٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut.” (HR. Bukhari no. 2068)
Dan makanan non-daging, serta minuman, selama secara zahir tidak diketahui terdapat zat haram di dalamnya, maka hukum asalnya halal. Kaidah fiqhiyyah yang disebutkan para ulama:
الأصل في الأطعمة الإباحة إلا ما ثبت النص بتحريمه
“Hukum asal makanan adalah mubah, kecuali yang terdapat dalil pengharamannya.”
Sekedar adanya keraguan tentang keberadaan zat haram di dalamnya, tidak mengubah hukum asalnya yaitu mubah. Kecuali diyakini atau terdapat sangkaan kuat bahwa di dalamnya ada zat haram, baru bisa dihukumi sebagai makanan haram. Kaidah fiqhiyyah lainnya yang disebutkan para ulama:
اليقين لا يزول بالشك
“Sesuatu yang yakin tidak bisa gugur dengan keraguan.”
Kedua, dibolehkan bagi seorang muslim untuk memakan daging sembelihan dari kaum Nasrani atau Yahudi. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” (QS. al-Maidah: 5)
Kebolehan memakan daging sembelihan dari kaum Yahudi dan Nasrani harus memperhatikan 3 syarat:
1. Daging tersebut disembelih dengan cara yang benar, yaitu dzabh atau nahr. “Dzabh artinya memotong tenggorokan dari saluran makan hingga saluran darah” (Lisaanu Arab). “Nahr artinya cara menyembelih unta, yaitu dengan menusuk unta di bawah leher unta di bagian dada“ (Mu’jam Lughatil Fuqaha).
Jika menyembelihnya dengan cara dicekik, dipukul, disetrum, dan cara lainnya, maka ini tidak halal dagingnya. Allah ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.” (QS. al-Ma’idah: 3)
2. Daging tersebut disembelih dengan menyebut nama Allah. Allah ta’ala berfirman:
وَ لاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ الله عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. al-An’am: 121)
3. Tidak diketahui ada zat haram dalam daging tersebut atau dalam proses memasaknya. Jika diketahui ada zat yang haram dalam daging tersebut, maka haram pula memakannya.
Bagaimana jika seseorang tidak mengetahui daging sembelihan Nasrani atau Yahudi itu? Bagaimana cara penyembelihan mereka? Dan apakah mereka menyebut nama Allah atau tidak? Dan apakah mereka mereka membubuhi zat haram dalam daging tersebut?
Jawabnya, jika memang itu semua tidak diketahui, maka daging sembelihan Nasrani atau Yahudi tersebut hukum asalnya halal. Berdasarkan sebuah hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ ، لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ )
“Ada beberapa orang yang berkata: wahai Rasulullah, kami mendapatkan daging dari kaum yang lain. Dan kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah atau tidak ketika menyembelih. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau demikian, sebutlah nama Allah sebelum kalian memakannya, lalu makanlah”.” (HR. Bukhari no. 2057)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Allah ta’ala membolehkan kita untuk makan daging yang tidak diketahui apakah penyembelihnya menyebut nama Allah atau tidak. Demikian juga dibolehkan untuk memakan daging yang kita tidak mengetahui apakah ia disembelih dengan cara yang benar atau tidak. Karena suatu perbuatan yang sudah terjadi, jika itu dilakukan oleh orang yang layak melakukannya, maka hukum asalnya perbuatan tersebut sah, kecuali ada bukti ketidakabsahannya. Maka jika datang kepada kita, daging sembelihan dari seorang Muslim, atau seorang Yahudi, atau seorang Nasrani, tidak perlu kita bertanya: “Bagaimana cara kamu menyembelih?”. Tidak perlu kita bertanya: “Apakah kamu menyebut nama Allah ketika menyembelih?”. Daging tersebut halal selama tidak ada bukti bahwa daging tersebut haram. Ini adalah kemudahan dari Allah ta’ala.” (Liqa’at Babil Maftuh, 1/77)
Ketiga, makanan berupa hewan air hukum asalnya halal walaupun dimasak oleh orang kafir. Seperti ikan, udang, kepiting, cumi-cumi, dan semisalnya, ini semua hukum asalnya halal. Allah ta’ala berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagi kalian semua hewan laut dan makanan dari laut.” (QS. al-Maidah: 96)
Hukum asalnya halal walaupun yang memasak adalah orang kafir, karena hewan air tidak butuh untuk disembelih agar menjadi halal. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang laut:
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abu Daud no. 83, dishahihkan al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Artinya, hewan-hewan air yang dimakan dalam kondisi sudah mati tanpa penyembelihan itu statusnya bangkai namun halal dimakan. Para ulama al-Lajnah ad-Daimah mengatakan:
الأصل في حيوان البحر الذي لا يعيش عادة إلا فيه : الحل
“Semua hewan laut yang hanya hidup di air, hukum asalnya halal.” (Fatawa al-Lajnah, 22/313)
Dengan catatan, masakan berupa hewan air yang dimasak orang kafir hukum asalnya halal selama tidak diketahui ada zat haram yang dicampurkan ke dalamnya.
Keempat, tidak boleh memakan daging sembelihan nonmuslim yang bukan Yahudi atau Nasrani. Seperti sembelihannya orang Majusi, pemeluk agama Hindu, Budha, Konghucu, demikian juga orang yang atheis, dan murtad. Sembelihan mereka tidak halal dimakan. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. al-An’am: 121)
Dan karena yang dihalalkan oleh Allah adalah sembelihan Ahlul Kitab, sebagaimana di dalam surat al-Maidah ayat 5 yang sudah disebutkan di atas. Sehingga mafhumnya, sembelihan orang kafir selain Ahlul Kitab, tidaklah halal. Dan ini adalah kesepakatan para ulama. Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan:
وأجمَعوا أنَّ المجوسيَّ والوَثَنيَّ لو سمَّى اللهَ لم تؤكَلْ ذَبيحتُه
“Para ulama sepakat bahwa sembelihan orang Majusi, atau penyembah berhala, walaupun mereka menyebut nama Allah, tetap tidak boleh dimakan sembelihannya.” (Al-Istidzkar, 5/520)
Ibnu al-Qathan rahimahullah juga mengatakan:
وأجمعوا أنَّ المجوسيَّ والوَثَنيَّ لو سَمَّى اللهَ لم تؤكَلْ ذبيحتُه… وأجمعوا أنَّ ذبائح المرتَدِّين حرامٌ على المسلمينَ
“Para ulama sepakat bahwa sembelihan orang Majusi atau penyembah berhala, walaupun mereka menyebut nama Allah, tetap tidak boleh dimakan sembelihannya … Dan mereka juga sepakat bahwa sembelihan orang yang murtad hukumnya haram bagi kaum Muslimin.” (Al-Iqna’ fi Masail al-Ijma’, 1/321)
Setelah rincian-rincian di atas, andaikan seseorang tetap ragu terhadap kehalalan makanan buatan orang kafir karena adanya indikasi-indikasi keharaman di dalamnya, maka yang utama adalah menghindarinya dan lebih memilih makanan yang dibuat oleh kaum Muslimin. Dari al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَع ما يَريبُكَ إلى ما لا يَريبُكَ
“Tinggalkan yang meragukanmu dan beralihlah kepada yang tidak meragukanmu” (HR. Ahmad no.12120, dishahihkan Syaikh Syu’aib al-Arnauth)
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/40056-bolehkah-makan-makanan-buatan-orang-kafir.html